Kamis, 01 November 2012

MENGEJAR MAS BRO


Karya Martha Friska Sirait

Ketika aku mendengar lagu Audi “ Sahabat”, aku langsung teringat kepada kedua manusia yang berada di martubung tepatnya di medan. Entah apa yang membuatku begitu tertawa lepas saat mengingat mereka, tapi yang pasti aku bahagia saat itu.
“ Nak weh, kita ngumpul di tempat biasa jam 2, kalau telat mati !”
“ Eh, jangan gitu lah. Aku lagi sibuk nih. Kau tahu, aku saat ini dalam posisi yang genting, aku lagi... halo.. halo Nan ? halo ? iss.. dasar anak yang satu ini. Belum ngomong dah asal mati aja.” Sesaat setelah mematikan handphonnya, Chaca diam sejenak. Apa yang harus aku perbuat, aku tak mungkin meninggalkan ini. Aku sudah lama menunggu, apalagi sudah waktunya. Bagaimana ini, aku keluarkan gak ya?. Tiba-tiba seseorang dari belakang memukul pundaknya.
“ Nak, jadi masuk nggak, Ibu sudah tidak tahan nih ?”
“ Ehm.. gimana ya Buk, Saya bingung harus mengeluarkannya atau tidak”
“ Bagaimana kalau kamu duduk dulu baru kamu ambil keputusan setelah itu?”
“ Akh, ya benar. Thanks Buk !.” sambil meninggalkan tempat tersebut.
“ Dasar anak sekarang, mau boker saja harus berfikir. Edan !”



Setelah kami bertemu di tempat yang telah ditentukan kami memulai rapat yang akan dibahas.
“Cha, aku suka pada E..” sebelum menyelesaikan kalimatnya aku langsung menutup mulut Unek. Dan membisikkan sesuatu di telinganya.
“ Ssstt.. jangan menyebut merek, nanti kalau ada yang tahu bagaimana ?”
“ Jadi aku harus menggunakan nama apa?” sambil berbisik.
“ Sebut saja Mas Bro !”
“ Cha, aku suka pada Mas Bro”
“ Oh, ya nggak apa-apa.”
“ Makasih ya, kau memang teman yang baik. Oh ya, maukah kau mengajariku bagaimana cara untuk mendapatkan hatinya?”
“ Tenang saja, itu mudah kok. Tapi ada yang ingin aku tanyakan padamu?”
“ Apa itu ?”
“ Mas bro itu siapa ya, apa dia satpam di sekolah kita dulu ?” sambil menunjukkan wajah tidah berdosa.
“ Apa, kau mau mati ya. Aku serius gerot....”
“ Hahahahha..., aku cuma bercanda. Dengar dia menyukai wanita yang tomboy, humoris dan kuat. Lumayan sulit, tapi aku yakin kau pasti bisa meluluhkan hatinya.”
“ Hufh... baiklah, Conan kau harus merubahku.”
“ Ya, baiklah kalau itu mau mu.” Singkatku.

Keesokan harinya kami langsung melakukan pembedahan karakter Unek. Dan setelah selesai, kami mengantarkannya ke tempat pertemuan yang akan dilakukan bersama Mas Bro.
“ Kenapa E...” belum menyelesaikan kalimatnya Aku menutup mulut Chaca.
“Sssttt... jangan berisik. Ntar di dengar orang.”
“ Jadi, Mas Bro itu Dia. Aduh bagaimana ini... mampus aku !”
“ Kenapa, kau sakit hati atau kecewa?”
“ Bukan itu. Sebenarnya aku asal menyebut kemaren mengenai cara mendapatkan Mas Bro. Aku kira Mas Bro itu satpam kita benaran, tapi ternyata...”
“ Memangnya kriteria satpam kita seperti itu, dari mana kau tahu?”
“ Ehm... sebenarnya kami sudah beberapa kali telefonan. Hehehe” sambil tersipu malu.
“ Sarap! Ya sudah, tidak ada gunanya menyesali semuanya. Kita tunggu saja dia keluar.”

Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya Unek keluar. Dengan cepat Aku dan Chaca menghampiri Unek dan menyerbunya dengan beribu-ribu pertanyaan. Tapi Unek langsung membentak kami.
“ Diam !, mulai sekarang aku tidak ingin melihat kalian lagi. Sungguh terlalu.” sambil meniru logat bang haji roma irama.

Setelah beberapa hari berlalu, aku dan Chaca pergi kerumah Unek untuk menemuinya dan meminta maaf padanya.
“ Nek, aku benar-benar minta maaf. Aku memang tidak tahu kalau Mas Bro yang kau maksud itu Dia.”
“Sudahlah Nek, jangan marah lagi. Aku juga minta maaf mengenai masalah ini. Aku tahu memakaikanmu baju perompak itu sungguh ide yang gila. Padahal tidak ada cewek tomboy yang mengenakannya.”

Tiba-tiba Unek membentak kami dengan suara yang keras.
“ Ahh, ya..ya.. aku ingat sekarang. Pakaian perompak itu. Kalian ingat saat kalian mendandaniku dengan riasan perompak?”
“ Ya !” sahut ku dan Chaca.
“ Dan apa kalian ingat saat aku mengenakan pakaian perompak itu setelah Aku selesai mandi ?”
“ Ya !” sahut kami lagi serempak dengan rasa bersalah.
“ Kenapa ?” tanya ku penasaran.
“ Aku lupa memakai celana dalam pada saat itu !”
“ Apa !!!! ” serempak aku dan Chaca mendengar hal itu.
“ Bagaimana bisa ?” tanya Chaca heran.
“ Aku juga tidak tahu kenapa aku lupa, tapi itu tidak masalah buatku. Aku sudah mendapatkan jawabannya. Meskipun sedikit tertusuk.”
“ Maksudnya?” tanya ku heran.
“ Saat tidak memakainya, sepertinya ada yang menusuk kesitu.” Sambil memasang wajah malu-malu.
“ Tertusuk bagaimana maksudmu, celananya kan tidak ada resleting. Bagaimana bisa?”Jawabku sambil mengerutkan alis.
“ Memang tidak ada resleting, tapi kan pada saat itu aku pakai kancing peniti.”
“ Oh iya ? astaga...”

Karena merasa pembicaraan itu agak mengerikan buat Chaca, maka Ia mengalihkan pembicaraannya.
“ Lalu, apa yang Dia katakan?”
“ Aku tidak jadi mengutarakan perasaan ku padanya. Tapi saat bersamanya aku sadar satu hal”
“ Apa itu ?”
“ Dia, sama sekali tidak melihatnya. Dia sedikitpun tidak merasakan apa yang sedang aku perlihatkan. Disaat aku memberikan perhatian dan cara agar Ia sadar akan perasaanku, dia tetap saja tidak dapat melihatnya. Dan saat itu juga aku tahu, bahwa Dia ....” sebelum melanjutkan kalimatnya, Aku menutup mulut Unek.
“ Sssttt... sudah tidak perlu di ucapkan lagi. Kami memahami perasaan mu, kami dapat melihatnya. Semua yang kau rasakan, semua yang kau tunjukkan, kami dapat melihatnya. Bahkan tanpa kau bilang kami tahu kau sayang padanya. Jadi sudahlah. Oh iya, jadi bagaimana dengan itu mu, apa tidak terluka?” sambungku dengan perasaan ingin tahu.
“ Kau ini, kenapa kau suka sekali menghentikan pembicaraan orang .Tanganmu itu bauk tahu nggak. Itu ku sudah tidak apa-apa, aku sudah memberikan obat merah jadi kau tenang saja.”
“ Apa tidak iritasi, nanti kalau terjadi apa-apa bagaimana?”

Tiba-tiba Chaca menjambak rambutku.
“ Kenapa kau malah bertanya mengenai itu, menjijikkan tau tidak!”
“Kau yang menjijikkan, lihat..bulu hidungmu keluar. Cepat masukkan!”
“ Dasar!.” Keluh Chaca. Tapi saat itu juga Ia mendorong bulu hidungnya agar masuk ketempatnya.
“ Lalu bagaimana selanjutnya?” tanyaku pada Unek
“Tidak ada, kata Dokter bokongku tidak apa-apa.” balas Unek.
“ Oh.. syukurlah, aku kira... hahhahaha” aku tertawa karena terlalu berlebihan memikirkan hal yang lain.
“ Tidak ada kata selanjutnya. Kau sendiri bagaimana Nan ?” tanya Chaca balik.
“ Sama saja, tidak ada kata selanjutnya”
“ Kau terlalu pemilih !”
“ Tidak, aku hanya sedang menunggu. Ibarat sebuah rumah yang kosong, hati ini masih menunggu pemiliknya kembali. Aku tak ingin waktu yang ku gunakan untuk menunggu membuat hatiku tertutup untuk orang lain, makanya aku berpacaran hanya untuk sekedar saja. Tapi ternyata, waktu menunggunya sangat lama.”
“Kau bodoh!, kau mampu melakukan hal gila yang kau lakukan terhadapku. Tapi kau tidak mampu untuk mengungkapkan perasaanmu.”
“ Ini berbeda Nek, begitu juga dengan kita. Sesungguhnya aku sangat iri kepada kalian yang bisa mendapatkan cinta dari orang yang juga menyayangi kalian.”
“ Tidak selalu, buktinya sekarang aku. Kau lihatkan.” Tegas Unek.
“ Kau belum seutuhnya mencintainya, makanya kau berucap seperti itu.”
“ Ya. Mungkin saat ini cinta belum berpihak kepada kalian, tapi ingatlah kita saling memiliki dan akan selalu melindungi. Meskipun cinta tidak melihatnya, namun sahabat mampu untuk merasakan dan melihatnya. Benarkan Nan ?”
“ Ya Cha, meskipun cinta mampu mengubah seseorang, tapi sahabat tetap untuk selamanya.”
“ Kalian inilah, baiklah kalau begitu. Kita harus tetap menjaga satu sama lain.” Setelah kalimat itu diucapkan Unek, akhirnya kami pulang kerumah masing-masing.
Mungkin terlihat bodoh saat aku mengenang semua itu, tapi hal bodoh itulah yang mampu membuat kami tetap bertahan dan menghargai segala yang kami punya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar